Friday, April 23, 2010

Pemanasan Global dan Respon Indonesia



Pemanasan global adalah nyata adanya dan sedang terjadi saat ini. Menjadi salah satu negara yang akan terkena dampak pemanasan global, Indonesia didesak untuk bergerak bersama-sama untuk menanggulangi bahaya dari dampak tersebut. Tahun ini IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) atau panel ilmiah tentang perubahan iklim mengeluarkan laporan dari tiga kelompok kerja. Laporan tersebut secara jelasmelaporkan “tidak ada keraguan akan masalah perubahan iklim; memastikan bukti-bukti dari perubahan iklim dengan yakin; skala dan percepatan dari dampaknya terhadap kehidupan manusia dan ekosistem akan sangat tinggi; menghindari perubahan iklim ekstrem dapat
dilakukan dengan bantuan teknologi dan ekonomi namun waktu untuk bertindak tidak banyak”Dengan menggunakan model dari IPCC, Indonesia akan mengalami kenaikan dari temperatur rata-rata dari 0.1 sampai 0.3ºC per dekade. Kenaikan suhu ini akan berdampak pada iklim yang mempengaruhi manusia dan lingkungan sekitarnya, seperti kenaikan permukaan air laut dan kenaikan intensitas dan frekuensi dari hujan, badai tropis, serta kekeringan.Dari kenaikan permukaan air laut dari 8-30 cm, sebagai negara kepulauan, 2000 pulau-pulau Indonesia diramalkan akan tenggelam atau hilang. Kehilangan pulau-pulau tersebut merupakan ancaman dari batas dan keamanan negara. Seperti yang dilaporkan oleh WGII (Working Group II-Kelompok Kerja II), kenaikan permukaan air laut akan mengakibatkan 30 juta orang yang hidup di ekosistem pantai mengungsi dan Indonesia akan mengalami kerugian yang sangat besar.Hujan akan diprediksikan menjadi lebih sering dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Pergeseran musim tersebut akan menjadi ancaman terbesar bagi sektor pertanian di Pulau Jawa dan Bali, penyebab turunnya 7-18% produksi beras.Perubahan pola iklim akan menambah daftar panjang ancaman bagi Indonesia, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, serta badai tropis. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional Indonesia, dalam kurun waktu 2003-2005 bencana alam yang terkait dengan cuaca mencapai 1,429 kasus atau 53.3% dari total bencana alam yang terjadi di Indonesia.Di lain pihak, ketika musim kering melanda, bangsa ini menghadapi kemungkinan kekeringan yang berkepanjangan, untuk sektor kehutanan titik api akan semakin parah. Pada bulan September 2006 sendiri tercatat 26,561 titik api yang merupakan angka tertinggi sejak Agustus 1997 ketika sepanjang tahun 1997 tersebut tercatat “hanya” 37,938 titik api.Tantangan buat Indonesia sekarang adalah memiliki mekanisme yang responsif untuk mengatasi masalah perubahan iklim secara tepat dan efektif. Tindakan pencegahan di level nasional dan lokal perlu dilaksanakan segera bersama-sama dengan inisiatif Internasional.
Sebagai negara yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 1994 dan Protokol Kyoto pada tahun 2004 yang diadopsi oleh UU no 17/2004, Indonesia telah melangkah beberapa langkah dalam mengatasi masalah perubahan iklim ini.
Sebuah contoh penting adalah dibentuknya institusi nasional untuk mengatur Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB).
MPB dapat mengurangi emisi negara ini sampai 23-24 ton per tahun jika difungsikan secara efektif dan fungsional (berdasarkan studi strategi nasional 2001/02 untuk menganalisis pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor energi
dan sektor kehutanan).
Namun bagi Indonesia masih diperlukan strategi yang implementatif dan tindakan yang nyata di beberapa sektor penting,
karena kenyataannya sekarang belum ada koodinasi antar sektor yang komprehensif untuk selaras dengan Konvensi Perubahan Iklim dalam mengatasi masalah tersebut.
Sebagai salah satu negara yang rentan akan perubahan iklim ekstrem, Indonesia perlu melakukan pengkajian dan pemetaan akan kerentanan dan adaptasi dari perubahan iklim agar tercipta penanganan yang efektif untuk masalah tersebut.
Berikutnya adalah kebutuhan mendesak untuk mengarusutamakan strategi adaptasi bagi strategi pembangunan dan perencanaan pembangunan di sektor lokal maupun nasional. Tanpa prencanaan ini Indonesia akan mengalami kegagalan dalam pembangunan yang diakibatkan oleh bencana lingkungan.Di bagian mitigasi, Indonesia perlu mendesak negara-negara maju untuk memangkas emisi gas rumah kaca mereka jika masyarakat global ingin tetap berada di bawah kenaikan 2ºC, di mana Bumi masih akan mampu beradaptasi dari kenaikan temperatur tersebut.
Kelompok Kerja III dari IPCC menyatakan bahwa PDB (Pendapatan Domestik Bruto) akan dipotong 0.12% agar level CO2 dunia dapat bertahan di bawah level paling rendah sampai tahun 2030 sedangkan diperkirakan total keseluruhannya sekitar 3% sampai tahun yang sama. Dalam reviewnya, Sir Nicholas Stern mengingatkan kembali bahwa dunia akan mengeluarkan 5-20% dari PDB-nya dan bahkan lebih besar ketika tidak ada tindakan yang dilakukan dari sekarang untuk mencegah perubahan iklim ekstrim.Untuk Indonesia, ‘sumbangsih’ emisi gas rumah kaca dalam negri semakin besar, terutama emisi dari sektor deforestasi termasuk konversi lahan gambut dan hutan serta kebakaran hutan jika semuanya dimasukkan hitungan. Oleh karena itu beberapa organisasi di Indonesia meyakini bahwa kita adalah penyumbang emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia.Namun demikian terbuka lebar kesempatan bagi Indonesia dan negara-negara pemilik hutan lainnya untuk berkontribusi secara positif dalam mengurangi emisi di sektor kehutanan. Konvensi Perubahan Iklim yang akan digelar di Bali Desember 2007 direncanakan untuk membahas mekanisme insentif REDD (Reducing Emission from Deforestation in Developing Countries) yang akan diberikan kepada negara-negara Non-Annex I yang menjaga hutannya.Indonesia memiliki kesempatan baik untuk membawa posisi yang kuat bagi mekanisme insentif REDD dengan menciptakan pengukuran dan kebijakan untuk mengurangi dan memonitor laju deforestasi. Indonesia juga perlu mendesak negosiasi dengan kelompok-kelompok negara lain agar mendapatkan dukungan di sisi REDD.
Jika langkah-langkah adaptasi dan pengurangan emisi dari sektor kehutanan dapat dipersiapakan dan diimplementasikan dengan serius maka dapat menjadi sinyal positif bagi masyarakat bahwa Bangsa Indonesia siap menghadapi kemungkinan terburuk dari perubahan iklim.

* Fitrian Ardiansyah (Program Director of Climate & Energy, WWF-Indonesia)
sumber: http://www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=news.detail&language=i&id=NWS1187285558&print=1
gambar;http://www.vogelkoppapua.org/?page=news.detail&id=40

Saturday, April 17, 2010

How to View the Lyrids


Above:The rate of meteor activity is usually greatest near dawn because the earth's orbital motion is in the direction of the dawn terminator. Earth scoops up meteoroids on the dawn side of the planet and outruns them on the dusk side.

Lyrid meteors can be seen anytime after midnight when the constellation Lyra is well above the horizon. The best time to look is between about 3 a.m. and dawn. That's when the local sky is pointing directly into the meteoroid debris stream (see the diagram below). The early morning hours of April 23 and April 24 should be good times to watch no matter where you live.

based on http://science.nasa.gov/science-news/science-at-nasa/1999/ast21apr99_1/

April's Lyrid Meteor Shower The oldest known meteor shower peaks this year on April 22



Artist Duane Hilton's concept of a Lyrid meteor over Death Valley
Apr. 21, 1999: Stargazers in recent months may have noticed something missing from the nighttime sky: shooting stars. Each year between January and April there is a lull in meteor activity as Earth passes through a part of its orbit that is free from major cometary debris streams. Without much space dust in the area, there are simply fewer cosmic particles burning up in the atmosphere to produce visible shooting stars.

Above: Artist Duane Hilton created this nighttime painting of a Lyrid meteor streaking over sand dunes in Death Valley, CA.

It's been a long 3 months for meteor enthusiasts, but the 1999 intermission in meteor activity is nearly over. It ends this Thursday with the arrival of the annual Lyrid meteor shower. The Lyrids will peak at 1600 UT (9 a.m. Pacific Standard Time) on April 22 with at least 10-20 meteors per hour. The predicted peak occurs during daylight on Thursday morning across most of the United States, but the rate of meteors should still be high a few hours earlier before the sun rises. No matter where you live, the best time to look will be during the hours before dawn on Thursday after the waxing quarter Moon has set. Typical Lyrid meteors are nearly as bright as the main stars in the Big Dipper, which makes it a good shower for both beginning and experienced observers.

Most years, observers of the Lyrids can expect to view one or two shooting stars every few minutes. That's just a trickle compared to the avalanche of shooting stars and fireballs seen by millions during the 1998 Leonids meteor shower, but the Lyrids are not always so meek. In 1982, for example, over 90 meteors per hour were seen for a brief time. An even bigger outburst in 1803 was documented by a journalist in Richmond, Virginia who wrote:

"Shooting stars. This electrical phenomenon was observed on Wednesday morning last at Richmond and its vicinity, in a manner that alarmed many, and astonished every person that beheld it. From one until three in the morning, those starry meteors seemed to fall from every point in the heavens, in such numbers as to resemble a shower of sky rockets..." [ref]

Another account quoted an observer who "counted 167 meteors in about 15 minutes, and could not then number them all." [ref]

Although the Lyrids are not usually so spectacular, they are notable as the oldest recorded meteor shower. Lyrids have been observed for at least 2600 years, according to Chinese records from 687 BC describing "stars that fell [like] rain."

The Lyrid meteor stream is asscociated with periodic comet Thatcher C/1861 G1, whose orbit is tilted nearly 80 degrees with respect to the plane of the solar system. Because the comet spends most of its time well away from the planets, it is nearly immune to significant gravitational perturbations. This is probably the reason why the debris stream has remained stable and the Lyrid shower has been observed for so many centuries.

based on http://science.nasa.gov/science-news/science-at-nasa/1999/ast21apr99_1/

Friday, April 09, 2010

Lava likely made river-like channel on Mars


The Tharsis region of Mars, including the three volcanoes of Tharsis Montes (Arsia, Pavonis and Ascraeus Mons), as well as Olympic Mons in the upper left corner. Credit: NASA/Jet Propulsion Lab


http://www.nasa.gov/topics/solarsystem/features/mars-lava-channels.html

What are the causes of climate change?


Earth is a very special planet – it is close enough to the sun to receive a lot of energy, but far enough not to be scorched. It is in what you might call the "goldilocks zone", where the conditions are just right for life as we know it.

To help keep these conditions just right, our planet is wrapped in a layer of greenhouse gases.

This layer keeps the globe warm like a blanket, shielding it from the cold universe – commonly referred to as the greenhouse effect. While not being the most potent greenhouse gas, carbon dioxide (CO2) is the main driver for the greenhouse effect.

And this is where we have a problem.

The cause of climate change is the unlimited burning of fossil fuels – coal, oil and natural gas to satisfy our hunger for energy.

Fossil fuels are in essence plant matter from many millions of years ago, and they contain CO2. The abundant CO2 trapped in this plant matter has been locked away for millennia until the start of the industrial revolution.

We are now releasing this CO2 at an ever-increasing rate (around 28 billion tons of CO2 into the atmosphere just last year) and the layer of greenhouse gas gets thicker. This in turn makes the Earth warmer and it means that the conditions under which humanity has thrived are rapidly changing.

http://www.panda.org/about_our_earth/aboutcc/