Saturday, November 28, 2009

40000 siswa di NTT putus sekolah


VIVAnews - Lebih dari 40.000 anak usia Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP) di Provinsi Nusa Tenggara Timur terpaksa drop out dari bangku sekolah akibat berbagai persoalan.

Kesulitan ekonomi keluarga diduga menjadi penyebab utama tingginya siswa drop out, selain masalah sosial, serta fasilitas pendidikan yang masih terbatas.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, Thobias Uly, yang dihubungi di Kupang, Selasa 10 Maret 2009 mengatakan, angka drop out siswa SD dan SMP dikuatirkan akan terus bertambah, seiring dengan krisis global yang terjadi saat ini.

”Data sementara, hanya dua persen atau sekitar 10.000 siswa yang terpaksa drop out pada tahun ajaran lalu. Sedangkan siswa SMP mencapai 30.000 lebih. Data ini diperoleh dari angka partisipasi kasar siswa,” kata Thobias Uly.

Dia menambahkan, kebanyakan siswa drop out berasal dari keluarga miskin, jauh dari akses pendidikan serta mengalami kesulitan ekonomi.

Sementara Kepala Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah NTT, Marthen Diratome, yang dihubungi terpisah, mengatakan, kondisi pendidikan di NTT sampai dengan sekarang ini tergolong rendah. Hal ini ditandai dengan tingkat kelulusan nasional tahun 2008, dimana angka kelulusan paling rendah di Indonesia.

Menurutnya, beberapa faktor penyebab buruknya pendidikan yakni tenaga guru yang kurang, jarak rumah dengan sekolah masih jauh, fasilitas perpustakaan kurang, dorongan orang tua bagi siswa untuk ke sekolah yang rendah serta kemampuan daerah untuk membiayai sekolah untuk bebas dari biaya pendidikan belum optimal.

”Beberapa faktor ini berpengaruh besar terhadap anak usia sekolah untuk mengikuti wajib belajar sembilan tahun sebagaimana yang dicanagkan pemerintah,” kata Marthen.

Para siswa drop out, disarankan untuk mengikuti program penyetaraan melalui Paket A untuk tingkat SD, Paket B untuk tingkat SMP dan Paket C untuk tingkat SMA. ”Tahun 2009 ini, pemerintah membantu sekitar Rp100 miliar untuk program pendidikan luar sekolah,” lanjutnya.
Di Kota Kupang, lebih dari 20.000 anak usia sekolah, terpaksa berhenti sekolah dan dipekerjakan sebagai buruh kasar, pendorong kereta di pasar atau sebagai penjual koran.

“Sebenarnya saya ingin sekolah. Tapi bapak bilang ke Kupang untuk kerja. Saya tidak bisa menolak. Saya drop out dari bangku SD kelas dua tahun 2008 lalu,” kata Imanuel Holo (9 tahun), yang drop out dari sebuah SD di Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, tahun 2008 lalu.
Sebagai penjual koran eceran di Jl. El Tari Kupang, menurut Imanuel, ia harus bekerja keras. Maklum, ia tak digaji tetap. Penghasilan yang diperoleh setiap hari tergantung banyaknya koran yang laku terjual.

”Setiap hari, saya menjual 20 eksemplar koran lokal. Setiap koran yang laku, saya mendapat potongan Rp800. Kalau semua terjual, saya bawa pulang uang Rp16.000 ke rumah. Tapi kalau jualan sepi, saya terpaksa pulang dengan tangan hampa,” ujarnya.

No comments: